Sikap Responsif Nabi Sulaiman Dan Burung Hud-hud

Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini,

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai `Arsy yang besar”. (An-Naml: 20-26)

Sikap responsif adalah kesadaran akan tugas yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kepekaan yang tajam dalam menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dan kepahaman makna tanggungjawab yang harus dipikul adalah ciri utama kepribadiannya. Ia tidak merasa tidak enak jika suatu saat melalaikan kewajibannya. Perasaan berdosa selalu menghantuinya. Karena itu, kapanpun, bagaimanapun dan dalam kondisi apapun ia selalu berusaha secara maksimal untuk melaksanakan tugasnya. Tugas apapun selama dalam kebenaran dan dalam koridor ajaran Allah. Bukan hanya kewajiban ibadah ritual melainkan juga ibadah sosial. Ayat di atas menggambarkan sikap responsif Nabi Sulaiman sebagai seorang pemimpin, dan sikap responsive burung Hud-hud sebagai anggota yang paham akan tugasnya.

Sikap Responsif Nabi Sulaiman

Nabi Sulaiman dalam ayat di atas digambarkan sebagai pucuk pimpinan yang penuh sikap responsif kepada rakyatnya. Kata tafaqqada menunjukkan makna ini. Artinya pemerikasaan yang detil dan teliti. Cerminan dari besarnya rasa responilibitas yang sangat dalam. Bukan sekadar basa-basai atau formalitas. Melainakn ia benar-benar memeriksa. Imam Al Asfahani menyebutkan bahwa al faqd artinya tidak ada setelah tadinya ada. At tafaqqud bermakna ta’arufu fuqdanisy syai’, maksudnya upaya untu tahuk mengenai sesuatu yang hilang atau tidak hadir. Mengapa tidak hadir? Apa sebab ketidak hadirannya? (lihat, Al Ashfahani, mufradat alfadzil quar’an, h. 641). Sedemikian rupa sehingga seekor burung Hud-hud yang pada waktu itu nampak tidak hadir dipertanyakan. “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?

Hud-hud memang tidak hadir pada waktu itu. Sudah barang tentu bahwa ketidakhadirannya tidak ada yang tahu. Karenanya ketika Nabi Sulaiman bertanya tidak ada yang menjawab. Hal semacam ini bagi seorang pemimpin yang peka dan responsif bukan masalah kecil. Ketidakhadiran seorang anggota dalam sebuah pertmuan tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah masalah yang harus mendapatkan teguran secara serius. Nabi Sulaiman benar-benar menunjukkan sikap keseriusannya. Simaklah pernyataannya: “Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya”. Hukuman pertama, Adzab yang keras dan hukuman kedua menyembelihnya, keduanya mencerminkan besarnya pelanggaran tersebut, dan kesungguhan seorang pemimpin dalam menakar setiap kesalahan sesuai dengan porsinya. Boleh jadi sebuah kesalahan nampak kecil di depan mata manusia tetapi ketika itu menjadi kebiasaan, akibatnya fatal dan mengancam hidupnya sebuah bangsa. Perhatikan ketidakhadiran seekor Hud-hud di atas, secara sepintas itu kesalahan kecil, tetapi mengapa Nabi Sulaiman menentukan hukuman yang sangat keras bahkan hukuman mati. Di sini Nabi Sulaiman sebenarnya ingin menegakkan kedisiplinan dan kejujuran sebagai tonggak hidup tidak sebuah masyarakat. Bila keduanya tegak secara sempurna masyarakat akan kuat, aman dan sejahtera. Sebaliknya bila keduanya hilang, masyarakat akan resah, sengsara dan kacau-balau. Perhatikan betapa jauh jangkauan berpikir Nabi Sulaiman. Makanya sekecil apapun yang mengarah kepada penggerogotan sikap disiplin dan kejujuran harus mendapat tindakan yang tegas.

Memberikan hukuman yang setimpal adalah kewajiban seorang pemimpin dalam setiap pelanggaran anggotanya. Ketidaktegasan dalam menegakkan hukum akan menyebabkan sikap main-main, kebiasaan berbuat maksiat dan keberanian melanggar aturan. Dari kebiasaan jelek tersebut akan lahir secara bertahap berbagai proses menuju kehancuran sebuah masyarakat, sebuah bangsa dan sebuah Negara. Bukti-bukti mengenai hal ini tidak terhitung dalam sejarah. Tetapi manusia sering kali tidak mau mengambil pelajaran dan suka mengulangi kesalahan masa lalu dengan tanpa merasa berdosa. Nabi Sulaiman memang tegas dalam menentukan hukuman, tetapi ia bukan tipe pemimpin dictator. Alasan yang jujur dan logis masih bisa diterima. Nabi Sulaiman berkata: kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Kata sulthan artinya kekuasaan, dan dalam ayat di atas dipakai untuk makna alasan yang kuat (hujjah), seperti dalam beberapa ayat berikut: alladzina yujadiluna fii ayaatillah bighairi sulthanin (Ghafir:35), fa’tuuna bisulthanin mubiin (Ibrahim:10), walaqad arsalna musa biayaatina wasulthanin mubiin (Ghafir:23) (lihat, Al Ashfahani, mufradat alfazhil quar’an, h. 420). Ini untuk menunjukkan betapa sebuah sikap dan perbuatan sekecil apapun harus berdasarkan alasan yang kuat, apalagi sikap tersebut berupa sebuah pelanggaran. Maka ia harus mempertanggungjawabkannya secara jujur. Bukan mencari-cari alasan, dengan menyembunyikan kebusukan di dalamnya. Setiap amal appun –apalagi amal dakwah di jalan Allah- jika fondasinya kebohongan dan kemunafikan yang busuk ia tidak akan pernah mendapatkan keberkahan dan pertolongan dari Allah. Karenanya bila suatu kaum hendak berdakwah di jalan Allah, maka yang pertama kali ia sempurnakan kepribadiannya, kebersihan dirinya dan dari sinilah kelak sikap responsif akan muncul. Sikap responsif tidak akan pernah muncul dari pribadi yang kotor, penuh maksiat dan tidak bertanggung jawab. Dari sini nampak kedalaman makna ungkapan: wasulthanin mubiin.

Sikap Responsif Burung Hud-Hud

Ustadz Sayyid Quthub menggambarkan bahwa Hud-hud tersebut bukan sembarang burung. Tidak seperti jutaan Hud-hud yang berkeliaran dimana-mana. Al Qur’an merekam kecerdasan dan sikap responsifnya yang luar biasa. Bahwa Hud-hud tersebut mempunyai kepribadian yang peka dan berkeinginan kuat (lihat Sayyed Qithub, fii dzilalil quar’an, vol.5, h.2638). Bukan hanya itu cara bersikapnya pun mencerminkan kebijakan yang luar biasa. Ketika datang Hud-hud langsung mengajukan alasannya dengan penuh keyakinan: “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk”.

Apa yang tergambar dari alasan Hud-hud adalah:

(1) bahwa ia terlambat bukan apa-apa, melainkan dengan inisiatif sendiri sedang melakukan tugas yang sangat penting. Tugas yang dengannya kelak sebuah kaum menjadi tunduk kepada Allah. Di mana seandainya Hud-hud tidak melakukan itu, kaum tersebut akan terus tersesat jalan. Tidak menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah, melainkan hamba setan dan matahari yang disembahnya. Perhatikan bagaimana sikap responsif burung Hud-hud yang demikian cerdas dan tajam ini telah menghentak kita semua. Allah merekamnya untuk menjadi pelajaran agar kita yang dibekali akal tidak kalah dengan burung Hud-hud dalam menegakkan kebenaran. Kecerdasan Hud-hud nampak dari segi cara memulai pembicaraan. Seketika ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui”. Pembukaan ini menggambarkan pentingnya sebuah berita yang dibawanya. Di saat yang sama telah membuat Nabi Sulaiman terpanggil untuk mengetahui dan mengurungkan niatnya untuk mengazab atau menyembelihnya.

Dalam kondisi di mana Nabi Sulaiman sedang konsentrasi untuk mendengarkan alasannya, Hud-hud mulai bercerita: kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Di sini Hud-hud menekankan adanya kenyataan yang aneh. Seorang wanita memimpin sebuah kaum. Tersirat dari sini bahwa secara fitrah –sebagaimana ditangkap oleh Hud-hud- yang menjadi pemimpin puncak sebuah kaum seharusnya laki-laki. Para Nabi semuanya laki-laki. Nabi Sulaiman sebagai pemimpin pada waktu itu adalah laki-laki. Makanya ia buka laporannya dengan menyebutkan: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka. Secara tidak langsung Hud-hud telah mengkritisi kenyataan sosial kaum Saba’ tersebut yang nampak bertentangan dengan fitrahnya. Dari sini terlihat betapa tingginya sikap responsif sang Hud-hud. Sehingga begitu Nabi Sulaiman mengambil tindakan, ia menekankan dalam suratnya seperti terekam pada ayat lebih lanjut: (An Naml:31): wallata’lu alayya wa’tuuni muslimiin (janganlah kamu berlaku sombong kepadaku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri). Dengan itu kemudian yang menjadi pemimpin puncak adalah Nabi Sulaiman.

(2) Hud-hud mengkritisi bahwa kekuatan politik wanita tersebut tegak bukan karena didukung oleh fikrah (risalah suci) melainkan oleh semata kekuatan harta. Simaklah Hud-hud berkata: dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Fenomena politik seperti ini bagi Hud-hud bukan hanya sebuah kepemimpinan yang rapuh, melainkan ia tidak sepantasnya meraja lela dan berlangsung lama. Sebab keberadaannya cenderung mengarah kepada kemungkaran. Dan itu sudah Hud-hud contohkan pada ayat selanjutnya bahwa mereka tidak menyembah Allah melainkan menyembah matahari. Berbeda dengan kerajaan Nabi Sulaiman yang memancarkan risalah tauhid (ketundukan total kepada Allah Sang Pencipta langit dan bumi). Karena itulah sisi tersebut Hud-hud tekankan dalam laporannya, supaya kelak tidak berulang sebuah kepemimpinan yang hanya mengutamakan fondasi materialisme. Dan supaya yang menjadi master plane adalah kepemimpinan Nabi Sulaiman yang gagah, berwibawa dan membawa risalah tauhid yang suci dan mulia.

(3) Hud-hud mengkritisi sikap kaum Saba’ dari sisi aqidahnya, ia berkata: Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk “. Di sini Hud-hud menginformasikan bahwa kaum Saba’ itu tidak menyembah Allah Yang Menciptakan mereka, melainkan menyembah matahari. Mengapa? Hud-hud menjelaskan itu karena mereka mengikuti ajakan setan, yang menyesatkan. Padahal setan tidak pernah berbuat baik untuk mereka, bahkan berusaha keras: (a) agar manusia tidak mendapatkan petunjuk yang benar (b)agar mereka tidak menyembah Allah. Tetapi mengapa mereka tetap terpedaya olehnya. Lain halnya Allah yang sudah jelas menyediakan segala yang mereka butuhkan. Dengar kata Hud-hud: Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai `Arsy yang besar”. Terlihat dengan jelas sikap responsif Hud-hud yang demikian dalam untuk memperbaiki setiap penyimpangan aqidah demi tersebarnya risalah tauhid. Benar, sekali lagi saya ingin mengutip ucapan Ustadz Sayyed Quthub di sini, bahwa Hud-hud tersebut bukan sembarang burung, melainkan burung istimewa, tidak sama dengan jutaan burung Hud-hud lainnya yang beterbangan di berbagai penjuru. Wallahu a’lam bishshawab.

LOYALITAS ISLAM

Salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah memberikan wala’ (loyalitas). Al Wala’ atau walayah adalah buah dari mahabbah (kecintaan). Ketika seseorang mencintai sesuatu, ia wajib memberikan wala’ kepada yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba mencintai Allah, maka dia harus memberikan wala’nya itu kepada Allah. Cinta yang tidak menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.

Wala’ atau walayah biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan, penghormatan, terhadap orang-orang yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’ adalah baro’ atau ‘adawah yaitu kebencian atau permusuhan.

Allah Wali dari orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan”. (Al Baqarah: 257)

Allah sebagai “waliyullladzina amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong, dan pelindung bagi orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Sebaliknya “awliyaa” (para pemimpin, penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala yang disembah selain Allah. Thagut itu jumlahnya banyak dan mereka menyesatkan orang-orang yang mengikutinya sehingga mereka keluar dari cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan kedekatan. Sedangkan asal pengertian al-‘adawah adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat. Dalam Bahasa Arab “hadza yali hadza” artinya ini dekat dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,

“Serahkan ilmu waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa dari harta warisan, maka ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.

Berwala’ dalam Islam ini implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’ kepada Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan, sebagaimana disebutkan Al Qur-an,

Sesungguhnya Wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al Maaidah:55)

Loyalitas Kepada Allah

Sumber utama dari Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di antara makna kalimat Tawhid adalah “Laa waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah). Loyalitas kepada Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh Allah dengan segala kecintaan dan kesetiaan. Maka wala’ kepada Allah bermakna bersedia menyerahkan diri secara total kepada Allah untuk dipimpin dan diarahkan dengan segala kecintaan. Atau menyediakan diri untuk dipimpin Allah secara total tanpa sedikitpun perlawanan. Wala’ kepada Allah ini hanya akan diterima manakala terdapat Bara (penolakan) kepada segala bentuk sembahan selain Allah atau kepemimpinan yang tidak bersumber dari Allah.

Al Waliy merupakan salah satu makna Al Ilah (Sembahan). Dengan kata lain sesuatu yang disembah adalah sesuatu yang dijadikan pemimpin, penolong, pelindung atau teman akrab yang sangat dicintai. Tiada yang boleh diperlakukan sebagai sembahan dalam bentuk seperti ini kecuali Allah semata. Nabi Ibrahim Alaihissalaam telah menunjukkan sikap tauhid seperti ini,

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja… (QS. 60. Al Mumtahanah:4)

Al Wala’ kepada Allah ini selain diartikan loyalitas juga mengandung makna “kesetiaan” dan lawan dari pengkhianatan. Karena itu, manakala seseorang memberikan wala’nya kepada Allah maka dia tidak boleh mengkhianati-Nya. Dia pun wajib memberikan kesetiaan kepada Allah meskipun dia berada dalam keadaan susah.

Bukan itu saja, dia pun harus menyesuaikan diri dengan mengikuti petunjuk-Nya tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, tentang apa yang dimurkai, diperintah dan dilarang-Nya. Sebagai balasannya, Allah akan memberikan wala’Nya kepada orang tersebut. Allah pasti akan mencintai, melindungi, membimbing dan menolongnya. Bahkan orang yang memusuhi wali Allah juga akan menjadi musuh Allah. Dan orang yang menjadi musuh Allah otomatis menjadi musuh walinya pula. Firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (Al Mumtahanah: 1)

Barang siapa yang memusuhi wali Allah berarti dia memusuhi Allah. Dan barang siapa memusuhinya, berarti ia memeranginya. Maka disebutkan dalam sebuah hadits: “Dan barang siapa memusuhi penolong-Ku, maka dia telah memperlihatkan kepada-Ku permusuhan”.

Bagaimanakah penampilan orang-orang yang memberikan walanya kepada Allah sepenuhnya? Sejarah Islam memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi mulia pencinta Allah dan pemuja-pemuja-Nya yang setia. Pola kehidupan mereka memang terasa aneh untuk orang-orang di zaman ini, tetapi itu adalah kenyataan dari hasil keimanan dan amal sholeh mereka. Beberapa hal berikut ini merupakan sekelumit dari kisah-kisah mereka.

Amirul mu’minin Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami kesibukan yang luar biasa. Beliau asyik mengurus kebunnya sampai masuklah waktu sholat ashar. Ketika beliau sadar, beliau segera bergegas ke masjid ternyata orang-orang sudah pulang dari masjid. Khalifah sangat menyesali kejadian itu. Baru kali ini dalam hidupnya beliau terlambat sholat berjamaah di masjid. Karena kejadian ini, Khalifah Umar memutuskan untuk menyedekahkan kebun yang melalaikan dirinya.

Ketika melukiskan pribadi Al Hasan Al Zubdy, Imam Al Zahaby berkata, “Beliau menghabiskan seluruh waktunya demi ibadah, ilmu, menulis, mengajar dan belajar, hingga akhirnya Allah memberinya tempat yang istimewa di hati manusia, baik kaum awam maupun ulama”.

Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy sendiri adalah seorang ulama yang sangat sholeh. Dalam perjalanan hajinya dari Syria menuju Makkah Al Mukarramah beliau menulis Kitab Zadul Ma’ad yang spektakuler. Kitab itu kadang beliau tulis di atas ontanya yang sedang melaju menuju Baitullah.

Adapun Imam Ibnu Taimiyah, guru Ibnul Qayyim terkenal sebagai ulama mujadid (pembaharu) yang banyak menghasilkan karya besar. Namun hidup beliau senantiasa dalam fitnah karena dikejar-kejar orang-orang yang memusuhi Islam. Ketika beliau di penjara, beliau bersenandung,

Apa yang dikehendaki musuh-musuhku daripadaku

sesungguhnya surgaku ada dalam hatiku

Apabila mereka memenjarakan daku, maka penjara itu tempatku berkhalwat

Dan apabila mereka mengusirku maka kepergianku adalah tamasya

Dan apabila mereka membunuhku mereka mempertemukan Aku dengan kekasih-Ku

Beliau berkata, “Di dunia ini ada satu surga, siapa saja yang tidak memasukinya, ia tidak akan merasakan surga akhirat”. Yang dimaksud surga oleh beliau adalah “kelezatan iman dan cinta kepada Allah”. Demikianlah pendirian Ibnu Taimiyah yang telah menunjukkan wala-Nya kepada Allah dan mengabdikan diri untuk berjihad di jalan-Nya.

Gambaran di atas baru sekelumit saja dari panggung sejarah Islam yang kaya dengan orang-orang sholeh dan sepak terjangnya di jalan Allah.

Loyalitas Kepada Rasulullah

Sebagai konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan mengikuti beliau. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3. Ali Imraan:31)

Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan segala kecintaan menjadikan Nabi Muhammad sebagai kekasih, pemimpin, pembimbing hidup, penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap daya upaya dan pengorbanan dalam rangka berwala’ kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti Rasulullah merupakan konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.

Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang kepada Allah mengikuti manhaj (konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan utama dalam menegakkan Kalimat tauhid.

Rasulullah adalah Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus Waliyullah (Sahabat Dekat Allah). Inilah manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa? Karena beliau diberi Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau adalah hamba pilihan Allah dan utusannya yang terakhir untuk segenap manusia. Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah meletakkan pancangan “Iqomatud diin” (penegakkan Agama) yang akan tetap terpelihara sampai hari kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni’mat yang diberikan-Nya. Beliau merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya. Menjadi contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu Allah dan para Malaikat memuji beliau,

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya”. (Al Ahzab: 56)

Bila Allah dan para Malaikatnya menyampaikan sholawat kepada Rasul, maka kita lebih wajib lagi untuk mengucapkannya. Disebutkan dalam hadis,

Dari Anas r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa yang disebut namaku di hadapannya, makabershalawatlah kepadaku, barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan mendoakannya sepuluh kali”

Suatu ketika shahabat Rasulullah Umar bin Khattab datang menemui Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam. Umar radliyallahu anhu berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu!”

“Seperti apakah kecintaanmu padaku hai Umar?” tanya Rasulullah.

“Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!” sahut Umar.

“Tidak, hai Umar!! Engkau baru dikatakan mu’min bila mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri”. kata Rasulullah menegaskan.

Umar berkata, “Kalau begitu, aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri”.

“Nah sekarang baru benar” , kata Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

Jelas bahwa Rasulullah mengajarkan para shahabatnya untuk lebih mencintai beliau dari diri mereka sendiri. Dalam ajaran Islam kecintaan seperti ini merupakan pertanda lurusnya iman seseorang. Beliau bersabda,

Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, atau seluruh manusia”. (HR. Bukhari)

Hal ini berarti, kecintaan kepada Rasulullah tidak boleh dikalahkan oleh kecintaan kepada istri, anak tersayang, profesi, hobbi, bangsa, negara, dan sebagainya. Bila tidak, maka kita tidak bisa digolongkan orang mu’min! Jika ada orang mengaku beriman, tetapi ternyata hawa nafsunya belum bisa meninggalkan suatu yang dilarang Rasulullah, maka imannya dusta, dan ia tergolong munafik! Hal ini ditegaskan pula oleh Rasulullah,

Tidak beriman salah seorang dari kamu, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. (HR. Bukhari Muslim)

Kalau kita buka lembaran sejarah dan menelusuri kembali rangkaian kisah generasi pertama dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, niscaya akan kita jumpai contoh-contoh manusiawi yang mengagumkan tentang bagaimana mereka merasakan gelora cintanya kepada Allah dan Rasul.

Al Baghawi menuturkan kisah dialog Rasulullah dengan Tsauban, seorang khadam (pelayan) yang sangat cinta pada beliau. Suatu hari, saat Rasulullah menjumpai Tsauban, serta merta raut wajahnya berubah. Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Mengapa rona wajahmu berubah Tsauban?”. Dengan serius, Tsauban menjawab, “Saya tidak sakit ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Kemudian saya ingat akan akhirat, dan sayapun kembali diliputi oleh rasa cemas kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau. Bukankah engkau kelak diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Tetapi jika saya tidak masuk surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya”.

Itulah ungkapan perasaan Tsauban yang teramat mencintai Rasulullah. Perasaan seperti itu sungguh mengagumkan, sehingga Allah sendiri berkenan menjawab keresahan hati Tsauban. Kepada Rasulullah turunlah Surat An Nisa ayat 69, sebagai jawaban bagi kerinduan hati Tsauban:

“Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”

Loyalitas kepada orang-orang yang beriman

Bagian ketiga dari wala’ dalam Islam adalah berwala’ kepada orang-orang yang beriman. Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mu’min merupakan perwujudan dari berwala’ kepada Allah dan Rasulnya. Al Qur-anul Karim telah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah awliya Allah (para wali Allah).

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. 10:62-63)

Karena mereka merupakan awliya Allah maka setiap mereka hendaknya saling memberikan wala. Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang muslim dengan yang lain. Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran. Mahabbah dalam kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas, tolong menolong, saling membimbing) antara satu dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”. Bentuk wala’ yang paling tinggi adalah itsar, yaitu mengutamakan memenuhi kepentingan saudaranya sesama muslim daripada kepentingannya sendiri.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At Taubah:71)

Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah. Abu Bakar senantiasa mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam dari kepentingan dirinya. Ketika keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya, Abu Bakar selalu melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu Bakar tidak berani membangunkan Nabi yang tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan rasa sakitnya yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang kelelahan dan beristirahat di pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun, Nabi pun mengobati luka Abu Bakar …

Benarlah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR.Muttafaqun’Alaih)

Dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang bila dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan hal yang demikian itu terhadap saudaranya. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan manakala ia menginginkan untuk tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan benci.

Berwala’ kepada orang-orang beriman mewajibkan kaum muslimin meninggalkan wala’ kepada selain Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Ini berarti kaum muslimin harus mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Sejalan dengan firman Allah,

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain mereka. Memberikan wala’ kepada orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4:144)

Memberikan wala’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang membuat pelakunya digolongkan kepada golongan mereka


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)

Kisah Neraka Jahannam

Dikisahkan dalam sebuah hadis bahwa sesungguhnya neraka Jahannam itu adalah hitam gelap, tidak ada cahaya dan tidak pula ia menyala. Dan ia memiliki 7 buah pintu dan pada setiap pintu itu terdapat 70,000 gunung, pada setiap gunung itu terdapat 70,000 lereng dari api dan pada setiap lereng itu terdapat 70,000 belahan tanah yang terdiri dari api, pada setiap belahannya pula terdapat 70,000 lembah dari api.

Dikisahkan dalam hadis tersebut bahwa pada setiap lembah itu terdapat 70,000 gudang dari api, dan pada setiap gudang itu pula terdapat 70,000 kamar dari api, pada setiap kamar itu pula terdapat 70,000 ular dan 70,000 kala, dan dikisahkan dalam hadis tersebut bahawa setiap kala itu mempunyai 70,000 ekor dan setiap ekor pula memiliki 70,000 ruas. Pada setiap ruas kala tersebut ianya mempunyai 70,000 qullah bisa.

Dalam hadis yang sama menerangkan bahwa pada hari kiamat nanti akan dibuka penutup neraka Jahannam, maka sebaik sahaja pintu neraka Jahannam itu terbuka, akan keluarlah asap datang mengepung mereka di sebelah kiri, lalu datang pula sebuah kumpulan asap mengepung mereka disebelah hadapan muka mereka, serta datang kumpulan asap mengepung di atas kepala dan di belakang mereka. Dan mereka (Jin dan Mausia) apabila terpandang akan asap tersebut maka bergetarlah dan mereka berlutut dan memanggil-manggil, “Ya Tuhan kami, selamatkanlah.”

Diriwayatkan bahawa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : “Akan didatangkan pada hari kiamat itu neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu mempunyai 70,000 kendali, dan pada setiap kendali itu ditarik oleh 70,000 malaikat, dan berkenaan dengan malaikat penjaga neraka itu besarnya ada diterangkan oleh Allah s.w.t. dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang bermaksud : “Sedang penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras.” Setiap malaikat apa yang ada di antara pundaknya adalah jarak perjalanan setahun, dan setiap satu dari mereka itu mempunyai kekuatan yang mana kalau dia memukul gunung dengan pemukul yang ada padanya, maka nescaya akan hancur lebur gunung tersebut. Dan dengan sekali pukulan sahaja ia akan membenamkan 70,000 ke dalam neraka Jahannam.

Berbagi Nikmat Taubat Bersama Gito Rollies

gitorollies.gif
BERBINCANG AKRAB : Setelah memberikan ceramah tentang perjalanan pertaubatannya di Masjid Al-Ma’mun, di kompleks Kantor Suara Merdeka di Jl Raya Kaligawe, Gito Rollies berbincang akrab dengan Direktur PT Suara Merdeka Press Kukrit Suryo Wicaksono MBA, sambil meninggalkan masjid tersebut. – SM/Sutomo

SUASANA shalat jumat (16/4) di Masjid Al-Ma’mun di kompleks Redaksi Suara Merdeka, Jalan Raya Kaligawe Semarang boleh jadi tak berbeda dari beberapa shalat jumat sebelumnya, yaitu dipenuhi oleh para anggota redaksi dan karyawan, serta beberapa orang dari sekitar yang biasa sembahyang di sana. H Thobari, anggota redaksi yang juga salah seorang takmir masjid tersebut mengatakan, khatib dan imam shalat bersifat reguler atau sesuai dengan jadwal.

Mungkin yang membedakan shalat jumat kemarin adalah kehadiran H Gito Rollies, artis dan rocker yang kini lebih banyak melakukan dakwah. Dia datang selain untuk shalat jumat juga memberikan ceramah singkat mengenai pertaubatannya kembali ke jalan Islam.

Semalam Gito juga tampil di ruang Poncowati Hotel Patra, dalam rangka pengajian Qolbun Salim. Selain dia, hadir pula aktor senior Deddy Sutomo, pengurus Majelis Pengajian Qolbun Salim dan Direktur PT Suara Merdeka Press Kukrit Suryo Wicaksono MBA. Setelah ceramah Gito Rollies sekitar 20 menit, digelar acara ramah-tamah sembari makan siang di Aula Suara Merdeka Lantai III.

”Saya bukan ahli agama, juga bukan juru dakwah. Saya masih seorang artis dan penyanyi. Tapi memang saya mensyukuri nikmat taubat menemukan kebenaran Islam,” tutur pemilik nama asli, Bangun Sugito itu mengawali ceramahnya.

Siang itu, penulis buku Sujud Haru di Atas Sajadah mengenakan baju koko abu-abu dengan celana longgar berwarna sama dan kopiah putih. Bagi yang ingat gaya menyanyi tersebut ketika masih menjadi rocker bersama Rollies Band, boleh jadi akan berpendapat mungkin dia kesurupan. Gaya bicaranya cepat, lengkap dengan gestur yang ekspresif sehingga menimbulkan kesan energik.

Namun Gito Rollies sekarang dan dulu jauh berbeda. Itu juga diakuinya di mimbar dan juga saat ramah-tamah.

”Saya memang masih artis dan penyanyi. Tapi pasti ada perbedaan mendasar. Sebagai penyanyi wajar saja saya mengharapkan puji-pujian dan popularitas. Tapi sebagai orang yang harus menyampaikan pesan keagamaan saya harus rela berkorban,” tegas suami Michelle van der Rest itu.

Secara eksplisit, dia juga menjelaskan perbedaan mendasar tersebut. Sebagai artis, kata dia, penampilannya berhonor atau dibayar. Dia juga datang ke suatu tempat atas undangan. Namun sebagai orang yang berdakwah, dia harus rela tak mendapatkan apa pun dari sisi material dan semata hanya berharap rida Allah SWT. Singkatnya, dalam keyakinannya, bila dia tampil untuk menyampaikan pesan keagamaan dan mendapat bayaran untuk itu maka hal tersebut belum bisa disebutnya sebagai berdakwah.

”Saya bahkan pernah bilang kepada istri saya. Mama, kalau Mama cinta saya, ikhlaskah Mama saya pergi untuk menyampaikan pesan dan pulang tak membawa apa-apa, tak membawa uang? Alhamdullilah, istri saya ikhlas.”

Alasan

Banyak hal yang disampaikan Gito Rollies siang itu. Paling menarik adalah alasan kembalinya dia ke jalan Islam yang juga ditanyakan seorang jamaah bernama Amar. Pertanyaan itu cukup menarik mengingat sebagai figur publik, terutama saat masih sangat populer sebagai rocker, Gito dikenal sebagai selebriti yang lebih banyak berkutat di ”jalan-jalan muram dan hitam”.

Dia mengatakan, setidaknya ada empat alasan yang menggerakkan hatinya mencari kebenaran Islam. Pertama, kata dia, itu karena kehendak Allah. Kedua, doa-doa dari para pecintanya, katakan saja fans dia. Ketiga, dakwah terus-menerus yang disampaikan kawan-kawan Gito Rollies kepadanya secara langsung. Yang terakhir adalah dorongan yang besar dalam dirinya untuk ”menemukan” Islam.

”Awalnya, saya hanya melihat orang-orang yang pergi ke masjid dan belum menunaikan shalat, meskipun saya beragama Islam. Selanjutnya saya beranikan diri masuk ke rumah Allah itu. Wah, kali pertama rasanya malu sekali dan menakutkan tempat itu. Lama-lama Allah berkenan memberikan hidayah kepada saya.”

Pengalaman religius yang meyakinkannya ”kembali” ke Islam sempat pula diceritakan. Yakni, selama tiga hari tiga malam pada suatu kesempatan syuting di Surabaya, dia seolah-olah melihat ”penampakan” dosa-dosanya. Bahkan, dia mulai menyadari bahwa dosa terbesarnya berasal dari mulut dia.

”Saya ini dulu tukang menghina orang. Ketika itu, saya merasa melihat EL Manik (aktor-Red) yang sering saya hina karena kebotakannya. Ya, ternyata banyak dosa saya berasal dari mulut saya,” tandas lelaki kelahiran Biak, 1 November 1946 itu.

Gito Rollies barangkali salah seorang dari sekian selebriti yang telah menemukan kenikmatan pintu taubat. Seperti ceritanya, di kalangan selebriti sekarang, berkembang terus proses dakwah di antara mereka sendiri.

Sekadar catatan, kali pertama dirinya terlihat berubah dari sosok selebriti yang ndugal menjadi orang dengan penampilan seorang juru dakwah, muncul dua reaksi yang berbeda dari kalangan artis.

Gito, sang mantan rocker urakan itu, kini dikenal sebagai pendakwah. Itu pula alasan Majelis Pengajian Qolbun Salim Semarang mengundangnya. (Rakyat Merdeka)

Salam Kenal dan Sayang dari Kami Pengurus Permata ACT 2007-2008

Ba’da tahmid dan shalawat

Assalamualaikum Wr.Wb

“Lantunkan Zikir dalam kejernihan pikir”

Tema tersebut diatas sengaja kami angkat menyesuaikan dengan semangat pemuda islam masa kini yang dituntut untuk selalu menjadi teladan dan khazanah sumber ilmu bagi sekalian alam tanpa melupakan pemilik dari setiap ilmu yang ada didunia ini.

Alangkah sayangnya potensi yang besar ini apabila tidak dikumpulkan dan diberikan wadah yang juga memiliki koor mengembangkan ilmu pengetahuan dalam semata-mata berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.

Permata Canberra didirikan kira-kira setahun lalu bertujuan menjadi fasilitasi pengajian dzikir bagi mahasiswa ANU dan UC ataupun semua yang memiliki keinginan berkontribusi demi meningkatkan dakwah islam yang sejuk di negeri yang juga relatif sejuk ini.

Sekali lagi kami Pengurus Permata Canberra 2007-2008 mengucapkan Jazakumullah Khairan Katsir kepada pihak-pihak pendukung dan member of Permata Canberra dan doakan agar kami tetap amanah menjalankan visi misi kami.

Atas nama pengurus Permata Canberra 2007-2008

Afrimadona (Presiden Permata)

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH


PENGANTAR

Fatwa ini saya tulis sejak  lama  sebagai  jawaban  terhadap beberapa   pertanyaan  seputar  masalah  pencangkokan  organ tubuh.

Masalah  ini  merupakan  masalah  ijtihadiyah  yang  terbuka kemungkinan  untuk  didiskusikan, seperti halnya semua hasil ijtihad  atau  pemikiran   manusia,   khususnya   menyangkut masalah-masalah  kontemporer  yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu.

Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli  fiqih  yang  dapat mengklaim  bahwa  pendapatnyalah  yang  benar secara mutlak. Paling-paling ia hanya  boleh  mengatakan  sebagaimana  yang dikatakan   Imam   Syafi’i,  “Pendapatku  benar  tetapi  ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi  ada kemungkinan benar.”

Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang muncul akhir-akhir ini yang menentang  seorang  juru  dakwah yang  agung,  Syekh  Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, karena beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan  organ  tubuh dengan didasarkan atas pemikiran beliau.

Sebenarnya  Syekh  Sya’rawi –mudah-mudahan Allah melindungi beliau– tidak  menulis  fatwa  tersebut  secara  bebas  dan detail.  Beliau  hanya  mengatakannya dalam suatu mata acara televisi, ketika menjawab pertanyaan  yang  diajukan.  Dalam acara-acara  seperti  itu  sering  muncul  pertanyaan secara tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas  lalu,  yang tidak  dapat  dijadikan  acuan  pokok  sebagai  pendapat dan pandangan  ulama   dalam   persoalan-persoalan   besar   dan masalah-masalah  yang  sukar.  Yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ini adalah pendapat  yang  tertuang  dalam  bentuk tulisan,  karena  pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan pemikiran yang akurat  dari  orang  yang  bersangkutan,  dan tidak ada kesamaran padanya.

Namun  demikian,  setiap  orang  boleh  diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang  mujtahid, apabila  benar  pendapatnya  maka  dia  akan mendapatkan dua pahala; dan jika keliru maka diampuni  kesalahannya,  bahkan masih mendapatkan satu pahala.

Wa  billahit  taufiq,  dan  kepada-Nya-lah tujuan perjalanan hidup ini.

Pertanyaan:

Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ  tubuhnya sewaktu  dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain? Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah terikat    dengan    syarat-syarat    tertentu?    Dan   apa syarat-syaratnya itu?

Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan,  maka  untuk siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?

Apabila  mendermakan  atau  mendonorkan  organ   tubuh   itu diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?

Bolehkah  mendonorkan  organ  tubuh setelah meninggal dunia? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan  keharusan  menjaga kehormatan mayit?

Apakah  mendonorkan  itu  merupakan  hak  orang bersangkutan (yang  punya   tubuh   itu)   saja?   Bolehkah   keluarganya mendonorkan organ tubuh si mati?

Bolehkah  negara  mengambil  sebagian organ tubuh orang yang kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?

Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke  tubuh orang muslim?

Bolehkah   mencangkokkan  organ  tubuh  binatang  –termasuk binatang itu najis, seperti babi misalnya– ke tubuh seorang muslim?

Itulah  sejumlah  pertanyaan  yang  dihadapkan  kepada fiqih Islam dan  tokoh-tokohnya  beserta  lembaga-lembaganya  pada masa sekarang.

Semua  itu  memerlukan  jawaban, apakah diperbolehkan secara mutlak,  apakah  dilarang  secara  mutlak,  ataukah   dengan perincian?

Baiklah  saya  akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah memberi pertolongan dan taufiq-Nya.

Jawaban:

BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA  DIA MASIH HIDUP?

Ada   yang   mengatakan   bahwa  diperbolehkannya  seseorang mendermakan  atau  mendonorkan  sesuatu  ialah  apabila  itu miliknya.  Maka,  apakah  seseorang  itu  memiliki  tubuhnya sendiri  sehingga  ia  dapat   mempergunakannya   sekehendak hatinya,  misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan  dari  Allah  yang  tidak boleh  ia  pergunakan  kecuali  dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan  tubuhnya  dengan  semau sendiri  pada  waktu  dia  hidup  dengan  melenyapkannya dan membunuhnya  (bunuh  diri),  maka  dia  juga   tidak   boleh mempergunakan  sebagian  tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu  diperhatikan  disini  bahwa  meskipun tubuh  merupakan  titipan  dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang   untuk    memanfaatkan    dan    mempergunakannya, sebagaimana   harta.   Harta  pada  hakikatnya  milik  Allah sebagaimana  diisyaratkan  oleh  Al-Qur’an,  misalnya  dalam firman Allah:

“… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu …” (an-Nur: 33)

Akan tetapi, Allah memberi  wewenang  kepada  manusia  untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana  manusia  boleh  mendermakan  sebagian  hartanya untuk  kepentingan  orang  lain  yang  membutuhkannya,  maka diperkenankan  juga  seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah  bahwa  manusia  adakalanya  boleh mendermakan  atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan  ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari  kematian,  dari  penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila  seorang  muslim  dibenarkan  menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian    wujud   materiilnya   (organ   tubuhnya)   untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya  donor  darah,  yang merupakan   bagian  dari  tubuh  manusia,  telah  merata  di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama  pun  yang mengingkarinya,  bahkan  mereka  menganjurkannya  atau  ikut serta menjadi donor. Maka ijma’  sukuti  (kesepakatan  ulama secara  diam-diam)  ini –menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini– menunjukkan bahwa donor  darah  dapat diterima syara’.

Didalam  kaidah syar’iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk  menolong  orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong  orang  yang  terluka,  memberi  makan  orang  yang kelaparan,  melepaskan  tawanan, mengobati orang yang sakit, dan  menyelamatkan  orang  yang  menghadapi   bahaya,   baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka  tidak  diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar  (bencana,  bahaya)  yang  menimpa   seseorang   atau sekelompok  orang,  tetapi  dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu  menghilangkannya,  atau  tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena   itu   saya  katakan  bahwa  berusaha  menghilangkan penderitaan  seorang  muslim  yang  menderita  gagal  ginjal misalnya,  dengan  mendonorkan  salah  satu  ginjalnya  yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan  syara’,  bahkan terpuji  dan  berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang  di  bumi, sehingga  dia  berhak  mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma’ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan  sebagian  organ  tubuh  termasuk  kebaikan (sedekah).  Bahkan  tidak  diragukan  lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan  paling  utama,  karena tubuh  (anggota  tubuh)  itu  lebih  utama  daripada  harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan  seluruh  harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.  Karena  itu,  mendermakan  sebagian  organ  tubuh karena Allah Ta’ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup  boleh  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya,  maka  apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?

Jawabannya,  bahwa  kebolehannya   itu   bersifat   muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ  tubuhnya  yang  justru   akan   menimbulkan   dharar, kemelaratan,   dan   kesengsaraan  bagi  dirinya  atau  bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia  tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa   adanya   organ  tersebut;  dan  tidak  diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  dirinya.  Maka kaidah syar’iyah yang berbunyi: “Dharar (bahaya,  kemelaratan,  kesengsaraan,  nestapa)  itu harus dihilangkan,” dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: “Dharar  itu  tidak  boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula.”

Para   ulama   ushul   menafsirkan  kaidah  tersebut  dengan pengertian:  tidak   boleh   menghilangkan   dharar   dengan menimbulkan   dharar   yang   sama  atau  yang  lebih  besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian  luar, seperti  mata,  tangan,  dan  kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  diri  sendiri  yang  lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi  dirinya  dan menjadikan buruk rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan  itu  tidak  berfungsi  atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.

Hal  itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma  (donor),seperti  hak  istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang  wanita  bertanya  kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara     perempuannya,     tetapi     suaminya      tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya  jawab  bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu  ginjalnya,  sudah  barang tentu  ia  harus  dioperasi  dan  masuk  rumah  sakit, serta memerlukan perawatan khusus.  Semua  itu  dapat  menghalangi sebagian  hak  suami  terhadap  istri,  belum  lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya  hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian,  tidak diperbolehkan  anak  kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu  persis  kepentingan  dirinya,  demikian  pula halnya orang gila.

Begitu  juga  seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang  dibawah  perwaliannya, disebabkan  keduanya  tidak  mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya,  lebih-lebih  jika  ia mendermakan  sesuatu  yang  lebih  tinggi  dan  lebih  mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM


Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini  boleh  dilakukan  terhadap  orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir  harbi  yang memerangi  kaum  muslim.  Misalnya,  menurut  pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang  pikiran dan yang berusaha merusak Islam.

Demikian  pula  tidak  diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada  orang  murtad  yang   keluar   dari   Islam   secara terang-terangan.   Karena  menurut  pandangan  Islam,  orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia  berhak  dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?

Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan  donor,  yang satu  muslim  dan  satunya  lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong  bagi sebagian yanglain …” (atTaubah: 71)

Bahkan seorang  muslim  yang  saleh  dan  komitmen  terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan  hidup  dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya  melakukan  ketaatan  kepada Allah  dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini  berbeda  dengan   ahli   maksiat   yang   mempergunakan nikmat-nikmat  Allah  hanya  untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.

Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si  donor,  maka dia  lebih  utama  daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang  lebih  kuat  lagi, sebagaimana firman Allah:

“… Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah …” (al-Anfal: 75)

Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada   orang   tertentu,   sebagaimana   ia   juga   boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani  masalah  ini  (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara  organ  tersebut  dengan caranya  sendiri,  sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.

TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH

Perlu   saya   ingatkan   disini   bahwa    pendapat    yang memperbolehkan   donor   organ   tubuh   itu  tidak  berarti
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena  jual  beli  itu –sebagaimana   dita’rifkan  fuqaha–  adalah  tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh  manusia  itu  bukan harta   yang   dapat  dipertukarkan  dan  ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek  perdagangan  dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat  pasar  yang  mirip dengan  pasar  budak.  Di  situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang  lemah  –untuk  konsumsi orang-orang  kaya–  yang  tidak  lepas  dari  campur tangan “mafia  baru”  yang  bersaing  dengan  mafia  dalam  masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.

Tetapi,  apabila  orang  yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor  –tanpa  persyaratan  dan  tidak ditentukan   sebelumnya,   semata-mata  hibah,  hadiah,  dan pertolongan– maka yang demikian itu hukumnya jaiz  (boleh), bahkan  terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang  berutang  ketika  mengembalikan pinjaman    dengan    memberikan    tambahan    yang   tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara’  dan terpuji,  bahkan  Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang)  dengan  sesuatu  yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya.” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?

Apabila seorang muslim  diperbolehkan  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah  dia berwasiat  untuk  mendonorkan  sebagian  organ  tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?

Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan  organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan  mendatangkan  kemelaratan  –meskipun kemungkinan   itu   kecil–   maka  tidaklah  terlarang  dia mewasiatkannya setelah meninggal  dunia  nanti.  Sebab  yang demikian  itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat  (kemelaratan/  kesengsaraan) sedikit  pun  kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal  akan  lepas  berantakan  dan  dimakan  tanah beberapa  hari  setelah  dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan  diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun  dalil syara’ yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali  jika  ada  dalil  yang sahih  dan  sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.

Umar r.a. pernah berkata kepada  sebagian  sahabat  mengenai beberapa  masalah,  “Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu  dan  tidak  memberikan  mudarat  kepada   dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?” Demikianlah kiranya yang dapat  dikatakan  kepada   orang   yang   melarang   masalah mewasiatkan organ tubuh ini.

Ada  yang  mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit  yang  sangat  dipelihara  oleh  syariat  Islam,  yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:

“Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup.”1

Saya tekankan disini bahwa  mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan dengan ketetapan syara’ yang menyuruh menghormatinya.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak kehormatan tubuhnya.

Sementara  itu,  hadits  tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan  memotong-motong  tubuh  mayit,   merusaknya,   dan mengabaikannya  sebagaimana  yang  dilakukan  kaum  jahiliah dalam peperangan-peperangan –bahkan  sebagian  dari  mereka masih   terus  melakukannya  hingga  sekarang.  Itulah  yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.

Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan  ulama salaf  tidak  pernah  melakukannya,  sedangkan  kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka.  Memang  benar, andaikata  mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi  banyak  sekali perkara  yang  kita  lakukan  sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf  karena  memang  belum  ada  pada zaman  mereka.  Sedangkan  fatwa  itu  sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana   ditetapkan   oleh   para   muhaqqiq.  Meskipun demikian,  dalam  hal  ini  terdapat  ketentuan  yang  harus dipenuhi  yaitu  tidak  boleh  mendermakan  atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota  tubuh,  sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang     kewajiban      memandikannya,      mengafaninya, menshalatinya,  menguburnya  di  pekuburan  kaum muslim, dan sebagainya.

Mendonorkan  sebagian  organ   tubuh   sama   sekali   tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.

BOLEHKAH  WALI  DAN  AHLI  WARIS  MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?

Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan  berwasiat untuk  mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi  ahli  waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?

Ada  yang  mengatakan  bahwa  tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau  ahli  warisnya  tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.

Namun  begitu,  sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia  maka  dia  tidak  dianggap  layak  memiliki  sesuatu. Sebagaimana  kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa  tubuh  si mayit  menjadi  hak  wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara’  melarang  mematahkan  tulang  mayit   atau   merusak tubuhnya  itu  karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.

Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan  hak  kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika  terjadi  pembunuhan  dengan   sengaja,   sebagaimana difirmankan oleh Allah:

“… Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)

Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan  hukum qishash  jika  mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau  banyak.  Atau memaafkannya  secara  mutlak  karena  Allah,  pemaafan  yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti  yang  disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:

“… Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) …” (al-Baqarah: 178)

Maka tidak menutup kemungkinan bahwa  mereka  mempunyai  hak mempergunakan  sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi  mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai  kadar  manfaat  yang  diperoleh  orang  sakit   yang membutuhkannya  meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala  karena  tanamannya dimakan  oleh  orang  lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,  atau  terkena  gangguan, hingga  terkena  duri  sekalipun  … Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat  –setelah  meninggal  dunia–  dari  doa anaknya  khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka  untuknya.  Dan  telah  saya  sebutkan  bahwa sedekah  dengan  sebagian  anggota  tubuh  itu  lebih  besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.

Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi  ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh  orang-orang  sakit  untuk  mengobati  mereka,  seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama  si  sakit  masih  memanfaatkan organ yang didonorkan itu.

Sebagian saudara di Qatar  menanyakan  kepada  saya  tentang mendermakan  sebagian  organ  tubuh  anak-anak  mereka  yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga  mereka tidak  dapat  bertahan  hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan  beberapa  anak  lain  membutuhkan  sebagian organ tubuh  mereka   yang   sehat   –misalnya   ginjal–   untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Saya  jawab  bahwa  yang  demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala,  insya  Allah. Karena  yang  demikian  itu  menjadi  sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan  para  orang  tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala  dari  Allah.  Mudah-mudahan  Allah  akan mengganti  untuk mereka — karena musibah yang menimpa itu– melalui anak-anak mereka.

Hanya saja, para ahli waris tidak  boleh  mendonorkan  organ tubuh  si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena  yang  demikian  itu merupakan   haknya,  dan  wasiat  atau  pesannya  itu  wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.

BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH

Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para  wali  untuk mendonorkan  sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah  negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang  tidak  diketahui  identitasnya, dan   tidak   diketahui   ahli   waris  dan  walinya,  untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang  sakit  dan yang terkena musibah?

Tidak   jauh   kemungkinannya,   bahwa   yang  demikian  itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau  karena  suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati  indikasi  bahwa  sewaktu  hidupnya dulu   si   mayit   berwasiat   agar  organ  tubuhnya  tidak didonorkan.

MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM

Adapun mencangkokkan  organ  tubuh  orang  nonmuslim  kepada orang  muslim  tidak  terlarang,  karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai  Islam  atau  kafir,  ia  hanya merupakan  alat  bagi  manusia  yang  dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.  Apabila  suatu  organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi  alat baginya  untuk  menjalankan  misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang  mengambil  senjata  orang  kafir  dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.

Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam  tubuh  orang kafir  itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih  dan  bersujud  kepada  Allah  SWT,  sesuai dengan  pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur’an bahwa segala sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi  itu  bersujud menyucikan Allah Ta’ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.

Kalau begitu, maka yang benar adalah  bahwa  kekafiran  atau keislaman   seseorang   tidak   berpengaruh  terhadap  organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri,  yang oleh  Al-Qur’an  ada  yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud  disini bukanlah  organ  yang  dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang  termasuk  bidang  garap  dokter  spesialis  dan   ahli anatomi,  sebab  yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta  antara  yang  taat  dan  yang bermaksiat.  Tetapi  yang  dimaksud  dengannya  adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,  berpikir,  dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:

“… lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami …” (al-Hajj: 46)

“… mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) …” (al-A’raf: 179)

Dan firman Allah:

“… sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis  …” (at-Taubah: 28)

Kata najis dalam ayat tersebut  bukanlah  dimaksudkan  untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).

Karena itu tidak terdapat larangan syara’ bagi orang  muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM

Adapun  pencangkokan  organ  binatang  yang  dihukumi  najis seperti babi misalnya, ke dalam  tubuh  orang  muslim,  maka pada  dasarnya  hal  itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi  darurat.  Sedangkan  darurat   itu   bermacam-macam kondisi  dan  hukumnya  dengan  harus  mematuhi kaidah bahwa “segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu  harus diukur  menurut  kadar  kedaruratannya,”  dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.

Mungkin  juga  ada  yang  mengatakan   disini   bahwa   yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan   Al-Qur’an   dalam   empat    ayat,    sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.  Selain itu,  Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai –yaitu   kulitnya–   padahal   bangkai   itu    diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur’an. Maka apabila syara’ memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak    dimakan,    maka   arah   pembicaraan   ini   ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw.  pernah melewati  bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, “Sesungguhnya  itu  bangkai  kambing   milik   bekas   budak Maimunah.” Lalu beliau bersabda:

“Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?” Mereka menjawab,  “Sesungguhnya itu adalah bangkai.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”2

Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis,  maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?

Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara’ ialah  mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang  didalam  tubuh  maka   tidak   terdapat   dalil   yang melarangnya.  Sebab  bagian  dalam  tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah,  kencing, tinja,  dan  semua  kotoran;  dan  manusia  tetap  melakukan shalat, membaca Al-Qur’an, thawaf di Baitul Haram,  meskipun benda-benda  najis  itu  ada  di  dalam  perutnya  dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan  antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.

TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR

Akhirnya  pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah  hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah  pelir  ini tidak  diperkenankan  memindahkannya  dari  seseorang kepada orang lain?

Menurut  pendapat  saya,  memindahkan   buah   pelir   tidak diperbolehkan.  Para  ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang  memindahkan  karakter  khusus seseorang  kepada  keturunannya,  dan  pencangkokan pelir ke dalam  tubuh  seseorang,  yakni   anak   keturunan   –lewat reproduksi–   akan   mewariskan   sifat-sifat   orang  yang mempunyai  buah  pelir  itu,  baik  warna  kulitnya,  postur tubuhnya,  tingkat  inteligensinya,  atau  sifat  jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.

Hal ini dianggap semacam  percampuran  nasab  yang  dilarang oleh  syara’  dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada  orang  lain  sebagai bapaknya,   dan   lainnya,   yang   menyebabkan   terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang  tidak  termasuk  bagian dari  mereka.  Maka  tidaklah  dapat  diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila  dipindahkan  kepada  orang lain  berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.

Demikian pula jika otak seseorang dapat  dipindahkan  kepada orang  lain,  maka  hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.


Wa billahit taufiq.

Catatan kaki:


1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah sebagaimana disebutkan dalam al-Jami’ ash-Shaghir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafal: “Seperti memecahkan tulang orang yang hidup tentang dosanya.” ^
2 Muttafaq ‘alaih, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu’lu’ wal-Marjan, nomor 205.
^

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN

Pertanyaan:


Sebagian orang mengharamkan  semua  bentuk  nyanyian  dengan alasan firman Allah:

“Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Selain   firman   Allah  itu,  mereka  juga  beralasan  pada penafsiran  para  sahabat  tentang  ayat  tersebut.  Menurut sahabat,  yang  dimaksud  dengan  “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.

Mereka juga beralasan pada ayat lain:

“Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat,  mereka  berpaling daripadanya …” (Al Qashash: 55)

Sedangkan  nyanyian,  menurut  mereka,   termasuk   “laghwu” (perkataan yang tidak bermanfaat).

Pertanyaannya,   tepatkah  penggunaan  kedua  ayat  tersebut sebagai dalil dalam  masalah  ini?  Dan  bagaimana  pendapat Ustadz  tentang  hukum  mendengarkan  nyanyian?  Kami  mohon Ustadz  berkenan  memberikan  fatwa  kepada  saya   mengenai masalah  yang  pelik  ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,  sehingga memerlukan  hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah  berkenan  memberikan  pahala  yang  setimpal   kepada Ustadz.

Jawaban:

Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para  fuqaha  kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya  nyanyian  yang  mengandung kekejian,   kefasikan,   dan   menyeret   seseorang   kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu  baik  jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan  setiap  perkataan  yang menyimpang  dari  adab  Islam  adalah  haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu  diiringi dengan  nada  dan  irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang  diperbolehkannya  nyanyian  yang  baik pada  acara-acara  gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut  kedatangan  seseorang,  dan  pada  hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.

Namun demikian, mereka berbeda  pendapat  mengenai  nyanyian selain   itu  (pada  kesempatan-kesempatan  lain).  Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua  jenis  nyanyian,  baik dengan   menggunakan   alat   musik   maupun  tidak,  bahkan dianggapnya mustahab.  Sebagian  lagi  tidak  memperbolehkan nyanyian  yang  menggunakan  musik  tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali,  bahkan  menganggapnya haram (baik menggunakan musik atau tidak).

Dari  berbagai  pendapat  tersebut,  saya  cenderung   untuk berpendapat  bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah  halal  selama  tidak  ada  nash  sahih  yang mengharamkannya.  Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas)  tetapi  tidak sahih,  atau  sahih  tetapi  tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.

Kita perhatikan ayat pertama:

“Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan perkataan yang tidak berguna …”

Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian sahabat  dan tabi’in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan   argumentasi    mereka,   karena    didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:

“‘Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak berguna  untulc  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan …”

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini, maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi. Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur’an  (mushaf)  untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yangtidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur’an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan kewajiban kepada  Allah,  yang demikian  tidak  apa-apa  ia lakukan.”

Adapun ayat kedua:

“Dan   apabila   mereka   mendengar   perkataan  yang  tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”

Penggunaan  ayat  ini  sebagai  dalil   untuk   mengharamkan nyanyian  tidaklah  tepat,  karena  makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa  caci  maki dan  cercaan,  dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:

“Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi  kami   amal-amal   kami   dan   bagimu   amal-amalmu, kesejahteraan  atas  dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55)

Ayat   ini   mirip   dengan   firman-Nya   mengenai    sikap ‘ibadurrahman  (hamba-hamba  yang  dicintai  Allah Yang Maha Pengasih):

“… dan apabila orang-orang jahil  menyapa  mereka,  mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al Furqan: 63)

Andaikata  kita  terima  kata  “laghwu”  dalam ayat tersebut meliputi  nyanyian,  maka  ayat  itu  hanya  menyukai   kita
berpaling  dari  mendengarkan  dan  memuji  nyanyian,  tidak mewajibkan berpaling darinya.

Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu  yang  tidak  ada  faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah  tidaklah  haram  selama  tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan   dari   Ibnu   Juraij  bahwa  Rasulullah  saw. memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan  kepada beliau:  “Apakah  yang  demikian  itu  pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?”  Beliau menjawab,  “Tidak  termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia  seperti  al  laghwu,  sedangkan  Allah berfirman:

“Allah  tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala terhadap  sesuatu  dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan  menyelisihinya  karena  tidak  ada faedahnya  itu  tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”

Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin  merupakan  riya’.  Dari  Abu  Hurairah   r.a.   bahwaRasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia meIihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di  sini  perkataan  yang  disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   “Mereka berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?1  Allah SWT berfirman:

“…   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan …” (Yunus, 32)

Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia niatkan.”

Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta’ala berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk  menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya,  orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.”2

Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya.” Demikian  juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu  Hazm  berkata:  “Semua  riwayat mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan palsu.”

Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah  gugur,  maka tetaplah  nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di  rumah  Rasulullah?”  Kemudian  Rasulullah saw. menimpali:

“Biarkanlah  mereka,  wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”

Disamping itu, juga tidak ada larangan  menyanyi  pada  hari selain  hari  raya.  Makna  hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan   nyanyian,  permainan,  dan  sebagainya  yang  tidak terlarang.

Akan tetapi, dalam mengakhiri  fatwa  ini  tidak  lupa  saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:

1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.

Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:

 “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 31)

Dan Rasulullah saw. bersabda:

“Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.

2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.

Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)

3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”

Bagi  pendengar  –  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan – hendaklah dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan akhlaknya.

Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali
dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka  dan  ikut  mempopulerkan  mereka, atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.

Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam lembah  yang  haram  –  suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.

Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan selamat (terlepas dari dosa).

Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:


“Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.’   Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (Al Ahzab: 59)

“… Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)


Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya   untuk   memfitnah   atau  difitnah,  juga  berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak   kemungkinan  baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alasan untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut syariat Islam.

Catatan kaki

1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan, (ed.) ^
2 Ibnu Hazm, Al Muhalla. ^

Fatwa Dr Yusuf Qardhawi

BUNGA BANK

Pertanyaan:

Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut memperbolehkan mengambil bunga ini.

Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkannya dan ada yang  melarangnya.  Perlu saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat uang saya, tetapi bunga  bank  yang  saya  peroleh  melebihi zakat yang saya keluarkan.

Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang harus saya lakukan?

Jawaban:

Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka yang  demikian  itu  termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Antara lain Baqarah: 278-279)

Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan: “Bila keadaan darurat –baik darurat individu maupun darurat ijtima’iyah–  maka  bolehlah dipungut bunga itu.” Dalam hal ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak saya setujui. Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini.

Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang sama-sama memikul tanggung jawab.

Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara pemilik  modal   dengan   pengelola   –misalnya   pengelola memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik modal  hanya  lima  atau  enam  persen–  atau   terlepasnya tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada beliau.

Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia menzakati harta yang ia simpan di bank.

Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian?

Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara’ (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini bertentangan  dengan  kaidah  syar’iyyah  yang  melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.

Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan  atau lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu –sebagaimana  saya katakan– bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,  tetapi  milik kemaslahatan umum.

Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi.” (HR Muslim)

Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.

Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada jalan-jalan kebaikan.

Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  tertentu.  Maka  saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan manusia–  tidak  boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah (kaidah umum).

Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank) dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  “Tetapi  bank  juga mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?”

Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan tersebut  dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.

Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.

HUKUM BEKERJA DI BANK

Pertanyaan:

Saya tamatan sebuah akademi perdagangan yang telah  berusaha mencari  pekerjaan  tetapi  tidak  mendapatkannya kecuali di salah satu bank. Padahal, saya  tahu  bahwa  bank  melakukan praktek  riba.  Saya  juga tahu bahwa agama melaknat penulis riba. Bagaimanakah sikap  saya  terhadap  tawaran  pekerjaan ini?

Jawaban:

Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan  pada  asas  memerangi riba   dan  menganggapnya  sebagai  dosa  besar  yang  dapat menghapuskan berkah dari  individu  dan  masyarakat,  bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.

Hal  ini  telah  disinyalir di dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda membaca firman Allah Ta’ala berikut ini:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al Baqarah: 276)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu …” (Al Baqarah: 278-279)

Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda

“Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR Hakim)1

Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya  agar memerangi  kemaksiatan.  Apabila  tidak  sanggup, minimal ia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya  tidak terlibat   dalam  kemaksiatan   itu.   Karena   itu   Islam mengharamkan  semua  bentuk  kerja  sama   atas   dosa   dan permusuhan,   dan  menganggap  setiap  orang  yang  membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya,  baik pertolongan   itu   dalam  bentuk  moril  ataupun  materiil, perbuatan ataupun  perkataan.  Dalam  sebuah  hadits  hasan, Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:

“Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka.” (HR Tirmidzi)

Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda:

“Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yangmenerima suap, dan yang menjadi perantaranya.” (HR Ibnu Hibban dan Hakim)

Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberimakan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR Nasa’i)

Hadits-hadits sahih yang sharih itulah  yang  menyiksa  hati orang-orang  Islam  yang  bekerja  di bank-bank atau syirkah (persekutuan)   yang   aktivitasnya   tidak    lepas    dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan  pegawai  bank atau  penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi  kita  dan  semua  kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki  hanya dengan  melarang  seseorang  bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba.  Tetapi  kerusakan  sistem  ekonomi yang  disebabkan  ulah  golongan  kapitalis  ini hanya dapat diubah oleh  sikap  seluruh  bangsa  dan  masyarakat  Islam. Perubahan  itu  tentu  saja harus diusahakan secara bertahap dan  perlahan-lahan  sehingga  tidak  menimbulkan  guncangan perekonomian  yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan    secara   bertahap   dalam   memecahkan   setiap permasalahan yang pelik.  Cara  ini  pernah  ditempuh  Islam ketika  mulai  mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad  dan  kemauan  bersama, apabila  tekad  itu  telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.

Setiap  muslim  yang  mempunyai  kepedulian  akan  hal   ini hendaklah  bekerja  dengan  hatinya,  lisannya,  dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah  (sarana)  yang  tepat untuk   mengembangkan   sistem  perekonomian  kita  sendiri, sehingga  sesuai  dengan  ajaran   Islam.   Sebagai   contoh perbandingan,  di  dunia ini  terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang  berpaham sosialis.

Di  sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang  nonmuslim  seperti  Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu,  perlu  juga  diingat  bahwa  tidak semua  pekerjaan  yang  berhubungan  dengan  dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan  perpialangan,  penitipan,  dan  sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram.  Oleh  karena itu,  tidak  mengapalah  seorang  muslim  menerima pekerjaan tersebut –meskipun hatinya tidak rela– dengan harapan tata perekonomian  akan  mengalami  perubahan menuju kondisi yang diridhai agama  dan  hatinya.  Hanya  saja,  dalam  hal  ini hendaklah  ia  rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan  Rabb-nya  beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:

“Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari)

Sebelum  saya  tutup  fatwa  ini  janganlah  kita  melupakan kebutuhan  hidup  yang  oleh  para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan saudara  penanya  untuk  menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan  rezeki,  sebagaimana  firman Allah SWT:

“… Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 173}

Catatan kaki:

1 Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih isnadnya. ^
2 Tirmidzi mensahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula  oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka mensahihkannya. ^

SALAM DALAM KEHIDUPAN MUSLIM

Kata salam dalam Bahasa Arab mempunyai arti keselamatan, kesejahteraan atau kedamaian. Beberapa hal yang berkenaan dengan salam adalah:

Dalil
1.    Al Qur’an
Allah SWT berfirman:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (An Nuur [24]: 27).
Allah SWT berfirman:”… Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada dirimu sendiri. Salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya” (An Nuur [24]: 61).
2.    Hadits
Rasulullah Saw bersabda:”Demi Dia yang diriku berada di tangan-Nya! Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perkara yang apabila kalian kerjakan, maka akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkan salam di antara kalian!” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:”Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia lain tengah tertidur; niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera” (At Tirmidzi).
3.    Sunnah Para Nabi dan Rasul
Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Ketika Allah telah menjadikan Adam, maka Allah memerintahkan:”Pergilah kepada para Malaikat dan ucapkan salam kepada mereka yang tengah duduk. Dengarkanlah jawaban salam mereka, karena itu akan menjadi ucapan salam bagi kamu dan anak cucumu kelak!” Maka pergilah Nabi Adam dan mengucapkan:”Asalaamu ‘alaikum!” Para Malaikat menjawab:”Assalaamu ‘alaika warahmatullaah!” Mereka menambah warahmatullaah” (HR. Bukhary dan Muslim).
Al Qur’an menceritakan kisah Ibrahim AS:”(Ingatlah) ketika mereka msuk ke tempatnya lalu mengucapkan:”Salaaman”, Ibrahim menjawab:”Salaamun” …” (Adz Dzaariyaat [51]: 25).
4.    Perilaku Para Shahabat
Thufail Bin Ubay Bin Ka’ab pernah datang ke rumah Abdullah Bin Umar; lalu keduanya pergi ke pasar. Ketika keduanya sampai di pasar, tidaklah Abdullah Bin Umar menemui tukang rombeng, penjual toko, orang miskin dan siapa saja melainkan mesti memberi salam kepada mereka.
Suatu hari, Thufail Bin Ubay Bin Ka’ab datang lagi ke rumah Abdullah Bin Umar, dan diajak lagi ke pasar. Maka Thufail bertanya:”Perlu apa kita ke pasar? Kamu sendiri  bukanlah seorang pedagang dan tidak ada kepentingan menanyakan harga barang atau menawar barang. Lebih baik bila kita duduk bercengkerama di sini”. Abdullah Bin Umar menjawab:”Hai Abu Bathn! Sebenarnya kita pergi ke pasar hanya untuk memasyarakatkan salam. Kita beri salam kepada siapa saja yang kita temui di sana!” (Imam Malik dalam kitab Al Muwatha’ dengan sanad shahih).

Hukum
1.    Mengucapkan Salam
Hukum mengucapkan salam adalah sunnah yang dikuatkan (sunnah mu’akadah). Rasulullah SAW bersabda:”Jika seseorang di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah memberi salam kepadanya. Jika antara dia dan saudaranya terhalang pepohonan, dinding atau bebatuan; kemudian mereka berjumpa kembali, maka ucapkan salam kepadanya” (HR. Abu Daud).
2.    Menjawab Salam
Sedangkan hukum menjawab salam adalah wajib. Sebagaimana firman Allah SWT:”Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (An Nisaa’ [4]: 86).
3.    Ucapan Salam
Ucapan salam yang lengkap adalah “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” yang artinya “semoga seluruh keselamatan, rahmat dan berkah Allah dilimpahkan kepada kalian”. Ucapan salam ini sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW ketika beliau tengah bersama isterinya, ‘Aisyah RA, beliau bersabda:”Ini Jibril mengucapkan salam kepada kamu”. Maka ‘Aisyah RA menjawab:”Wa ‘alaihissalaam warahmatullaahi wabarakaatuh” (HR. Bukhary dan Muslim).
Idealnya seorang Muslim mengucapkan salam dengan lengkap, tetapi tetap diperkenankan seseorang untuk mengucapkan salam:
a.    Assalaamu ‘alaikum
b.    Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah, atau
c.    Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh (lengkap)
Semakin lengkap ucapan salam seorang, maka semakin banyak pula keutamaan yang diraihnya. Imran Bin Hushain RA menceritakan tentang seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW dan mengucapkan salam:”Assalaamu ‘alaikum!” Rasulullah SAW menjawab salam tersebut, dan kemudian memberikan komentar:”Sepuluh!” Kemudian datang orang lain yang mengucapkan salam:”Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah!” Rasulullah SAW menjawab dan kemudian memberikan komentar:”Duapuluh!” Dan datanglah orang ketiga dan mengucapkan salam:”Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!” Maka Rasulullah SAW menjawab:”Tigapuluh!” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Demikianlah, semakin lengkap ucapan salam seseorang, akan semakin banyak pula keutamaan yang dia peroleh.
4.    Ucapan Balasan Salam
Sedangkan jawaban salam, minimal setara dengan ucapan salam; dan kalau bisa, malah dilebihkan. Allah Ta’ala berfirman:” Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (An Nisaa’ [4]: 86).
Sehingga jawaban salam yang disyari’atkan adalah:
a.    Bila ucapan salam “Assalaamu ‘alaikum” maka jawaban minimal adalah “Wa’alaikumussalaam”, jawaban lebih adalah “Wa’alaikumussalaam warahmatullaah”, dan jawaban lengkapnya adalah “Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh”.
b.    Bila ucapan salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah” maka jawaban minimal adalah “Wa’alaikumussalaam warahmatullaah”, dan jawaban lengkapnya adalah “Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh”.
c.    Bila ucapan salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” maka jawaban minimal adalah “Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh”

Adab
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan dalam menyebarkan salam, yaitu:
1.    Urutan Salam
Sabda Rasulullah SAW:
a.    Orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan
b.    Orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk
c.    Rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang lebih banyak
d.    Yang kecil (muda) memberi salam kepada yang besar (tua)
(HR. Bukhary).
Itulah urutan salam yang menjadi adab bagi seorang Muslim untuk menyebarkan salam. Sikap dasar seorang Muslim adalah mencoba memaklumi orang lain dan tidak meminta untuk dimaklumi. Urutan salam inipun tidak harus menjadikan kita minta untuk  dimaklumi. Misal orang tua sama sekali tidak mau memberi salam kepada yang lebih muda, dan menuntut supaya anak-anak muda itu yang harus terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya. Sikap tuntutan seperti ini tentu saja berlebih-lebihan. Mestinya seorang Muslim tidak terjebak dengan sikap kekanak-kanakan seperti ini.
2.    Mendahului Salam
Terlepas dari urutan dalam memberi salam, Rasulullah SAW mengajarkan untuk mendahului dalam memberi salam. Diharapkan kita tidak pasif dalam mengucapkan salam, yaitu sekedar menanti datangnya ucapan salam dari orang lain. Diharapkan pula kita tidak menjadi orang yang suka menuntut orang lain untuk mengucapkan salam duluan. Rasulullah SAW mengajarkan, justru yang memulai salam itulah orang yang lebih mulia.
Sabdanya:”Seutama-utama manusia bagi Allah adalah yang mendahului salam (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:”Ya Rasulullah, jika dua orang bertemu muka, manakah di antara keduanya yang harus terlebih dahulu memberi salam?” Rasulullah SAW menjawab:”Yang lebih dekat kepada Allah (yang berhak terlebih dahulu memberi salam)” (HR. tirmidzi).
3.    Menjawab Setara atau Lebih
Apabila ada seseorang yang memberi salam kepada kita, maka idealnya kita memberikan jawaban yang sama (setara). Misalkan seseorang mengucapkan salam kepada kita:”Assalaamu ‘alaikum warahmatuulaah!” Minimal kita harus menjawab:”Wa’alaikumussalaam warahmatullaah!”
Lebih utama lagi, apabila kita memberikan jawaban yang lebih daripada ucapan salam tersebut. Misalkan seseorang mengucapkan salam kepada kita:”Assalaamu ‘alaikum warahmatuulaah!” Maka akan lebih baik apabila kita menjawab:”Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabaraakatuh!”
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:”Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (An Nisaa’ [4]: 86).
Jawaban salam masih kurang setara apabila kita memberi jawaban:”Wa’alaikum salaam …!” Harusnya, jawaban itu adalah:”Wa ‘alaikumus salaam …!” Perbedaan antara keduanya adalah: salaam dan as salaam. Kata salaam berarti keselamatan, sedangkan kata as salaam memiliki makna seluruh keselamatan. Tentu saja tidak setara antara keselamatan dan seluruh keselamatan. Jawaban ”Wa’alaikum salaam …” mempunyai makna keselamatan atas kalian; sedangkan jawaban “wa ‘alaikumus salaam …” mempunyai makna seluruh keselamatan atas kalian. Tentu saja jawaban ”Wa’alaikum salaam (keselamatan atas kalian)…” tidak setara apabila pemberi salam megucapkan:”Assalaamu ‘alaikum (Seluruh keselamatan atas kalian) …!”
4.    Menjabat Tangan
Selain mengucapkan salam, akhlaq yang indah (karimah) bagi seorang Muslim ketika bertemu dengan saudaranya adalah menjabat tangannya dengan hangat. Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:”Ya Rasulullah, jika seseorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau temannya apakah harus menunduk-nunduk?” Jawab Rasulullah SAW:”Tidak!” Tanyanya:”Apakah harus merangkul kemudian menciumnya?” Jawab Rasulullah SAW:”Tidak!” Tanyanya sekali lagi:”Apakah meraih tangannya kemudian menjabatnya?” Jawab Rasulullah SAW:”Ya!” (HR. Muslim).
Selain memiliki nilai kehangatan dan persahabatan (ukhuwwah), jabatan tangan juga akan menghapus dosa di antara kedua Muslim yang melakukannya. Rasulullah SAW bersabda:”Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni dosa keduanya sampai mereka melepaskan jabatan tangannya” (HR. Abu Daud).
Yang tetap perlu diperhatikan hendaklah lelaki tidak berjabat-tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya; demikian pula sebaliknya. Meskipun dalam masalah ini, DR. Yusuf Al Qardhawi tidak mengharamkannya secara mutlaq.
5.    Berwajah Manis
Yang dimaksud berwajah manis adalah penampilan yang menyenangkan serta senyum yang mengembang. Gaya seperti inilah yang diinginkan Rasulullah SAW ketika seorang Muslim bertemu dengan saudaranya. Sabda Rasulullah SAW:”Jangan kalian meremehkan sedikitpun tentang kebaikan, meskipun hanya wajah yang manis saat bertemu dengan saudaramu” (Al Bukhary).
6.    Tidak Memalingkan Wajah
Memalingkan wajah, apapun alasannya, sulit untuk ditafsirkan lain kecuali sikap meremehkan atau memusuhi. Apabila seorang Muslim berjumpa dengan saudaranya, selain salam dan jabat tangan. hendaklah ditambah dengan menatap wajah saudaranya; tidak malah memalingkan wajah. Nilai ucapan salam dan jabatan tangan menjadi hampa dan hilang ketika seseorang melakukannya sambil memalingkan wajah.
Allah SWT telah mengingatkan masalah ini dengan firman-Nya:”Dan janganlah kamu memalingkan muka kamu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Luqman [31]: 18).
7.    Tidak Membikin Gaduh
Setiap pembicaraan yang kita lakukan hendaklah secukupnya saja. Maksudnya, tidak dengan suara yang berlebihan, tetapi juga tidak terlalu lemah. Minimal orang yang kita ajak berbicara mampu menangkap suara kita, itu sudah cukup. Demikian pula dalam mengucapkan salam; secukupnya saja.
Al Miqdad RA biasa menyediakan susu bagian Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW datang pada waktu malam, lalu beliau memberi salam dengan perlahan sehingga tidak membangunkan orang yang tidur, dan cukup didengar oleh mereka yang terjaga. Dan beliau mengucapkan salam sebagaimana biasa beliau mengucapkan salam (HR. Muslim).
8.    Tidak mengucapkan ‘Alaikassalaam
Ucapan salam yang dilarang oleh Rasulullah SAW adalah ‘alaikassalaam, karena kata ‘alaikassalaam adalah salam untuk orang yang telah meninggal. Abu Juray al Hujaimi datang kepada Rasulullah SAW sambil mengucapkan:”’Alaikassalaam, ya Rasulullah!” Maka Rasulullah SAW berkata:”Jangan berkata ’alaikassalaam karena ‘alaikassalaam itu merupakan salam bagi orang mati” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi).
9.    Salam kepada Lain Jenis
Laki-laki diperkenankan memberi salam kepada wanita; dan sebaliknya wanita juga diperbolehkan mengucapkan salam kepada laki-laki. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW ketika berjalan melalui sekumpulan wanita. Beliau memberi salam kepada mereka (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Asma’ Binti Jazid menceritakan bahwa ketika Rasulullah SAW berjalan di masjid mendadak melihat rombongan wanita tengah duduk, maka beliau melambaikan tangan dengan mengucapkan salam” (HR. At Tirmidzi).
Sedangkan salam wanita kepada laki-laki digambarkan oleh Ummu Hani’ Binti Abu Thalib RA ketika datang kepada Rasulullah SAW saat Fat-hu Makkah (penaklukan kota Makkah). Saat itu, Rasulullah SAW tengah mandi dan di depan ada Fathimah. Maka Ummu Hani’ memberikan salam kepada Rasulullah SAW (HR. Muslim).
Tentu saja, memberikan salam kepada lawan jenis yang bukan muhrim dilakukan dengan tetap memperhatikan adab-adab pergaulan lawan jenis. Jangan sampai salam dengan lawan jenis justru dijadikan sebagai pengantar mendekati perbuatan zina. Misalkan salam anak-anak muda kepada lawan jenis dengan ragam salam yang tidak tepat. Ada salam sayang, salam mesra, salam rindu dan mungkin ada salam-salam lain yang lebih berbahaya. Padahal salam seperti itu ditujukan kepada lawan jenis yang bukan muhrim bukan pula isteri/suaminya. Salam seperti inilah yang tidak lagi bernilai syar’i.
10.    Salam kepada Orang Non Muslim
Diharamkan seorang Muslim mendahului mengucapkan salam kepada orang Non Muslim. Rasulullah SAW bersabda:”Jangan kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang Yahudi atau Nashrani” (HR. Muslim).
Tetapi apabila forumnya telah berbaur antara orang Muslim dengan Non Muslim, maka diperkenankan kita untuk memulai mengucapkan salam. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW ketika melewati suatu majelis yang berbaur antara orang Muslim, musrikin penyembah berhala dan Yahudi. Beliau mengucapkan salam kepada mereka” (HR. Bukhary dan Muslim).
Apabila orang Non Muslim memulai mengucapkan salam, maka jawaban yang diperkenankan oleh syari’at adalah:”Wa ‘alaikum!” (Semoga anda juga). Itu saja, tidak usah diperpanjang lagi. Rasulullah SAW menasihatkan:”Jika orang-orang Ahli Kitab (Non Muslim) memberi salam kepada kamu, maka jawablah:”Wa ‘alaikum” (HR. Bukhary dan Muslim).
11.    Salam kepada Anak-anak
Salam tidak hanya hak bagi pemuda dan orang tua. Anak-anak pun berhak untuk mendapatkan salam dan membalasnya. Bahkan, kebiasaan menyebarkan salam kepada anak-anak, diharapkan dapat mewarnai akhlaq seseorang ketika menginjak remaja dan dewasa.
Anas Bin Malik RA memberi salam kepada anak-anak ketika dia berjalan di muka mereka. Kemudian Anas berkata:”Dahulu Rasulullah SAW juga berbuat seperti ini (HR. Bukhary dan Muslim).
Maka berilah salam kepada anak-anak sekaligus mengkondisikan mereka dengan akhlaq-akhlaq Islami sejak dini.
12.    Salam jika Masuk Rumah
Allah SWT memerintahkan kepada Kaum Muslimin untuk meminta ijin dan mengucapkan salam apabila hendak memasuki rumah orang lain. Firman-Nya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (An Nuur [24]: 27).
Demikian pula jika kita memasuki rumah kita sendiri, baik dalam keadaan ada orangnya atau dalam keadaan kosong. Disyari’atkan supaya kita mengucapkan salam. Allah SWT berfirman:”… Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada dirimu sendiri. Salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya” (An Nuur [24]: 61).
Rasulullah SAW pun juga mengajarkan kepada Anas Bin Malik:”Wahai anak, jika kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, hendaknya memberi salam, supaya menjadi berkah untuk kamu dan keluargamu” (HR. at Tirmidzi).
13.    Berkirim Salam
Sudah menjadi tradisi di kalangan kita untuk saling berkirim salam kepada saudara kita melalui orang lain. Tetapi ada perilaku yang masih canggung bagi kita untuk berkirim salam, yaitu isi salamnya justru seringkali tidak tersampaikan. Maka cara berkirim salam adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk pihak pengirim salam mestinya menitipkan salam sekaligus isi salamnya, sebagai mana seseorang yang berkata,”Saya mau nitip surat kepada si Fulan”, maka tentunya dia akan mengambilkan surat tersebut dan diberikan kepada pengirimnya. Maka seorang pengirim surat ketika mengatakan,”Saya titip salam buat si Fulan” dia harusnya menambahkan,”Assalaamu ‘alaihim warahmtullaahi wabarakaatuh”.
Kedua, untuk pihak pembawa salam mestinya menyampaikan salam sekaligus isi salamnya. Sebagaimana Pak Pos yang berkata,”Ada surat buat Bapak” kemudian dia akan menyerahkan surat tersebut kepada orang yang dituju. Demikian pula seorang pembawa salam ketika berkata kepada orang yang dituju,”Kamu dapat salam dari si Fulan” maka salamnya harus disampaikan,”Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”.
Ketiga, pihak penerima salam hendaknya membalas salam dari saudaranya sekaligus isinya. Maka seharusnya ketika dia berkata,”Salam balik, ya” maka dia harusnya menambahkan,”Assalaamu’alaihim warahmatullaahi wabarakaatuh”.
Demikianlah semestinya tata-cara berkirim salam kepada saudaranya melalui orang lain.

Makna Salam
1.    Do’a
Makna salam adalah do’a seorang Muslim kepada saudaranya seiman. Kata “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” mempunyai makna “Semoga seluruh keselamatan, rahmat dan berkah  dianugerahkan Allah kepada kalian”. Nilai do’a dalam kandungan salam ini menjadi salah satu dasar mengapa salam tidak dapat diberikan kepada orang-orang Non Muslim. Karena do’a seorang Muslim kepada Non Muslim akan tertolak, meskipun ditujukan kepada orang-orang yang dekat dalam kehidupannya. Demikian pula Rasulullah SAW tertolak do’anya ketika ditujukan kepada pamannya yang masih kafir, Abu Thalib. Dan Allah mengingatkan dengan firman-Nya:”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Al Qashash [28]: 56).
Do’a seorang Muslim kepada Non Muslim adalah do’a supaya mereka mendapat petunjuk masuk dalam pangkuan Islam. Demikianlah do’a Rasulullah SAW kepada orang Non Muslim:”Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka orang yang tidak mengerti” (Sirah Nabawiyah, Abul Hasan ali An Nadwi). Atau do’a Rasululah SAW kepada Umar Bin Khaththab ketika masih kafir:”Ya Allah, berilah kemuliaan kepada Islam dengan masuk Islamnya salah satu orang terkasih kepada-Mu, yakni Abu Jahal atau Umar Bin Khaththab”.
Demikian pula sebaliknya. Seorang Non Muslim tidak mungkin mendo’akan seorang Muslim, karena tuhannya tidak sama. Bagaimana mungkin seorang tuan menggaji seseorang yang bukan pegawainya. Sehingga, bila seorang Non Muslim memberi salam kepada kita, cukup kita balas dengan ucapan:”Wa’alaikum (Semoga kamu juga)”, tidak lebih dari itu.
Berkah do’a dari salam itulah yang menjadikan shahabat mengecilkan volume jawaban salam ketika Rasulullah SAW mengucapkan salam kepada penghuni rumahnya. Sampai salam ketiga, barulah mereka menjawab dengan suara keras. Ketika Rasulullah SAW bertanya mengapa hal itu dilakukan oleh mereka, maka dijawab:”Kami ingin mendapatkan do’a dari Rasulullah SAW”.
2.    Dasar Iman dan Ukhuwwah
Salam merupakan dasar terbentuknya kasih-sayang (ukhuwwah), sedangkan kasih-sayang merupakan salah satu indikasi kedalaman iman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salam merupakan dasar bagi tegaknya iman dan ukhuwwah.
Rasulullah SAW bersabda:”Demi Dia yang diriku berada di tangan-Nya! Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perkara yang apabila kalian kerjakan, maka akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkan salam di antara kalian!” (HR. Muslim).
3.    Syi’ar Universal
Sangat keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa salam adalah budaya Arab, sehingga diusulkan supaya diganti dengan sapaan lokal atau nasional setempat. Sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak mengenal salam seperti yang kita fahami sekarang. Bila mereka menyapa, mereka akan mengatakan:”Shabahan Nuur (Selamat pagi)” atau “Masaa’an Nuur (Selamat malam)” dan kemudian akan dijawab “Shabahal Khair” atau “Masaa’al Khair”.
Setelah kedatangan Islam, sapaan ala Arab itu tidak hilang begitu saja. Sapaan itu tetap menjadi sapaan khas dalam Bahasa Arab. Sedangkan sapaan sesuai syari’at Islam adalah:”Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi wabarakaatuh” menjadi tradisi bagi Kaum Muslimin. Sehingga bagi orang Arab yang Non Muslim tidak memakai salam sebagai sapaan mereka.
Maka sangat keliru mereka yang beranggapan bahwa salam adalah sapaan budaya Arab. Meskipun salam memakai Bahasa Arab. Yang benar adalah salam merupakan sapaan khas Islam yang sesuai dengan syari’at dan berpahala apabila mengerjakannya. Sekaligus salam merupakan sapaan yang bersifat universal bagi seluruh Kaum Muslimin sedunia. Dia semacam kode etik pergaulan antara sesama Muslim. Siapapun dia, berada di manapun, dan kapanpun jua; maka salam adalah sapaan pemersatu Kaum Muslimin di seluruh dunia. Itulah syi’ar di antara syi’ar-syi’ar agama Allah yang harus kita agungkan.
“…Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati” (Al Hajj [22]: 32).
Demikianlah salam dalam kehidupan seorang Muslim. Tidak ada manfaatnya salam, apabila kita tidak mengamalkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dan dengan salam, semoga saja kita masuk surga dengan selamat.

Maraji’
1.    Hasan Ayyub, Assulukul Ijtima’I
2.    Imam An-Nawawi, Riyadhus shalihn
3.    Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah

ROKOK

Bahaya merokok dari segi kesehatan sudah tidak perlu didiskusikan atau diragukan lagi, karena dokter-dokter dari seluruh dunia berdasarkan ilmu dan penelitian menyatakan bahwa merokok itu sangat berbahaya, bahkan tidak hanya bagi si perokok, tapi juga bagi siapa saja yang menghirup asapnya, karenanya mereka sering disebut dengan perokok pasif yang bahayanya lebih besar diperolehnya daripada si perokok sendiri. Dari segi ekonomi, merokok amat merugikan, bukan hanya uang yang dicarinya dengan susah payah habis terbakar percuma, tapi penyakit yang diderita akibat merokok juga akan membuatnya harus mengeluarkan banyak uang untuk menyembuhkannya. Ini berarti, ditinjau dari sisi apapun, merokok merupakan sesuatu yang tidak baik, bahkan tidak sedikit ulama yang akhirnya mengharamkannya. Karena itu kampanye berhenti merokok dan membatasi ruang lingkup para perokok menjadi sesuatu yang amat penting.

TELADAN DARI TOKOH.

Tokoh-tokoh masyarakat seperti ulama, kiyai, muballigh, guru, para pejabat, pemimpin, orang tua, publik figur dan sebagainya semestinya memberikan contoh yang baik dengan tidak merokok dan menghentikan kebiasaan buruk itu. Sebagai tanggung jawabnya yang besar ditengah-tengah masyarakat, mereka semestinya bisa memberi teladan yang baik, minimal dalam bentuk tidak merokok di depan orang lain atau di depan umum, apalagi pada saat dia sedang diliput oleh media masa seperti televisi. Akibatnya, banyak masyarakat yang meneladani mereka dalam soal merokok, bahkan anjuran untuk tidak merokok dianggap sepele dengan berdalih kepada mereka, misalnya dengan mengatakan: “ah kiyai dan guru juga merokok” dan begitulah seterusnya.

Orang-orang yang kecanduan ganja dan narkotika (Narkoba) mulanya dari kebiasaan merokok, mungkin inilah diantara makna pribahasa yang bisa kita artikan di zaman sekarang: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. “Kiyai merokok, santri menggele”.” Guru merokok, murid mengganja”, begitulah yang memang harus kita waspadai. Hal ini karena, generasi kita sudah hancur akibat narkotika yang dimulai dari kebiasaan merokok dan kebiasaan itu meniru tokoh-tokoh yang disebutkan di atas.

Karena itu, kita amat prihatin bila tokoh-tokoh masyarakat yang semestinya memberi teladan yang baik, tapi malah menunjukkan hal-hal yang tidak baik. Zaman saya sekolah di Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMU), bila ada teman sesama murid merokok, maka teman saya itu dianggap sebagai murid yang tidak baik atau murid badung dan nakal. Karenanya teman saya itu biasanya takut-takut untuk merokok di tempat yang dilihat oleh guru atau di tempat umum, mereka biasanya merokok di WC, tapi sekarang tidak perlu takut-takut lagi karena guru, orang tua dan kiyai sudah memberi contoh untuk merokok di tempat umum.

SANGSI UNTUK PEROKOK

Mengingat bahaya merokok di depan umum sangat besar, maka di banyak tempat sudah diberlakukan larangan secara tegas untuk tidak merokok di kawasan tertentu, bahkan bukan hanya dalam bentuk tulisan “dilarang merokok disini” atau “kawasan bebas asap rokok”, tapi juga dengan memberlakukan sangsi bagi mereka yang melanggarnya. Ini merupakan sesuatu yang harus kita dukung. Harian Media Indonesia, Senin 4 September 2000 menginformasikan soal ini. Di Italia, merokok di tempat umum bahkan di ruang pribadi yang digunakan untuk umum didenda antara 100.000-300.000 Lira (Rp 415.000-1.250.000). Begitulah Undang-Undang yang dirancang oleh Menteri Kesehatan Italia dan telah mendapat persetujuan. Uang denda itu selanjutnya digunakan untuk membiayai kampanye anti merokok. Dengan cara itu, para perokok menjadi berkurang satu persen setiap tahunnya sejak tahun 1993.

Meskipun belum banyak yang menerapkan peraturan soal itu, tapi di negeri kita yang tercinta ini juga sudah dimulai. Berdasarkan informasi Harian Republika, Sabtu 12 Agustus 2000, Walikota Kendari, Mashur Masie Abunawas telah mengeluarkan instruksi larangan merokok bagi seluruh staf dan para tamu selama berada di ruangan atau halaman kantor walikota. Kalau melanggar maka si pelaku didenda Rp 10.000. Seandainya semua pejabat, baik di instansi pemerintah maupun swasta mau menerapkan ketentuan yang tegas tentang ini, tentu akan sangat menyenangkan, apalagi bila hal itu juga betul-betul diberlakukan di kendaraan umum seperti pesawat, kapal laut, kereta, bus antar kota, bus kota, angkot dan sebagainya. Begitu juga di halte-halte bus, terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara. Namun sayangnya, di tempat-tempat seperti itu justeru rokok begitu mudah didapat, bahkan para sopir sudah biasa merokoh saat mengemudikan kendaraan.

TINJAUAN AKHLAK

Pada hakikatnya, akhlak mendidik dan mengarahkan manusia untuk saling hormat-menghormati, sayang-menyayangi, bantu-membantu dan menjauhi saling mengganggu, menyakiti dan membahayakan orang lain. Dalam kaitan merokok yang asapnya sangat berbahaya bagi orang lain, maka orang yang merokok di tempat umum seperti merokok di kendaraan umum, halte bus, ruang pertemuan, kantor, sekolah dan sebagainya merupakan tindakan yang tidak mencerminkan akhlak yang mulia. Namun masalahnya adalah orang yang merokok itu meskipun di kamarnya sendiri sudah tidak berakhlak baik pada dirinya, karena hal itu menyakiti dirinya sendiri, maka akhirnya dia tidak peduli dengan orang lain, meskipun orang itu sangat menderita dengan asap rokok yang dihirup, itulah sekarang yang kita saksikan dimana-mana, ini berarti, akhlak masyarakat kita masih sangat rendah.

MEROKOK DI MASJID

Khusus untuk merokok di masjid, semestinya pengurus masjid memasang papan peringatan yang tulisannya  “Dilarang Merokok Di Lingkungan Masjid”. Hal ini karena masjid merupakan tempat suci yang harus dijaga kesucian dan kebersihannya, karenanya Rasulullah Saw melarang seseorang untuk datang ke masjid kalau mulutnya masih bau bawang merah, bawang putih atau kucai. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih dan bawang pia, janganlah ia mendekati masjid kami; karena para malaikat merasa terganggu dari segala yang mengganggu perasaan anak Adam (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Bahkan masjid-masjid kita semestinya bukan bau asap rokok, tapi bau minyak wangi atau segala bentuk wewangian yang menyenangkan sehingga membuat kita menjadi betah berada di dalamnya, hal ini terdapat dalam satu hadits yang artinya: Nabi Saw memerintahkan untuk membangun masjid di desa-desa dan diperintahkannya pula agar dibersihkan dan diharum-harumi (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Oleh karena itu kita semestinya amat prihatin bila di masjid ada orang yang merokok, baik di dalam, di halaman maupun di kantor atau sekretariat masjid, apalagi kalau yang merokok itu adalah pengurusnya dan apalagi  kalau yang merokok di masjid itu adalah kiyainya. Namun inilah memang yang amat kita sayangkan, banyak sekali pengurus masjid yang merokok di dalam masjid, baik pada saat mengobrol biasa maupun rapat-rapat resmi pengurus masjid.

Karena itu, bila masalah ini dihayati lebih lanjut, maka para perokok di depan umum atau dihadapan orang lain akan berdosa, besar dosanya adalah sebanyak orang yang terganggu dengan asap rokoknya itu, belum lagi dengan tempat yang akhirnya menjadi kotor dengan debu rokok. Karena itu, tiada kata lain: Para perokok harus menghormati orang yang tidak merokok, bukan seperti selama ini; yang bukan perokok harus toleran pada para perokok.

Demikian salah satu dari sekian banyak persoalan yang harus kita benahi pada masyarakat kita. Diperlukan kerjasama semua pihak. Pemerintah semestinya tidak mengizinkan iklan rokok di tempat-tempat umum, sedangkan media massa seharusnya tidak menerima iklan rokok, apalagi minuman keras.

« Older entries